Rabu, 08 Agustus 2012

~~~SAAT AKU MULAI JATUH CINTA~

Saat aku mulai mencintai seseorang, aku ditinggalkan…
Saat aku sangat mengharapkannya, dia menghilang…
Ketika aku mulai merasakan bahagia, aku dicampakkan…
Ketika aku sangat memerlukannya, dia memilih yang lain…

... Aku bertanya pada Robb ku:
“Ya Robb.. Kenapa semua yang aku inginkan tidak aku miliki??”

Robbku Menjawab:
“Karena kamu tidak pernah merasa yakin memilikinya.”

Aku Kembali Bertanya:
“.. tapi mengapa pada saat aku bahagia dia meninggalkanku?”

Jawab Robbku:

“Karena kamu tidak pernah memahami apakah dia bahagia bersamamu.”
“Aku tidak akan memberikan pasangan yang baik untukmu, jika kamu masih kasar.”
“Aku tidak akan memberikan pasangan yang setia untukmu, di saat kamu selalu mencari yang terbaik.”
“Aku tidak akan menganugerahkan seseorang yang sabar bagimu sedangkan kamu masih ego.”
“Aku akan memberikan pasangan yang sesuai untukmu, maka perbaikilah dirimu sesuai dengan apa yang kamu inginkan dari pasangan hidupmu.”

Senin, 11 Juni 2012


BAB IV
PENDIDIKAN DALAM TRILOGI ILMU PENGETAHUAN

a.       Ontologi Ilmu
Ruang lingkup ontologi ialah cakupan ilmu, yang berdasarkan aspek realitas yang dijangkau teori pendidikan melalui pengalaman pancaindra adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Adapun objek materil filsafat pendidikan adalah manusia seutuhnya, manusia berikut aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai maklhuk social, mengingat sebagai warga masyarakat, ia mempunyai cirri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya)
Sebenarnya persoalan ontology dalam filsafat bukan hanya terbatas dalam alam nyata saja akan tetapi mencakup alam metafisik (alam gaib) juga. karena luasnya cakupan masalah ontologi ini juga disebut sebagai persoalan metafisik. Dari segi bahasa istilah metafisik bermakna beyond or after physic. Yaitu luar atau selepas fisik. Jika alam fisik menyangkut persoalan realitas kebendaan atau yang dapat diketahui melalui pengalaman empirik, maka alam metafisik sebaliknya.
Agar pendidikan praktik terbatas dari akeptisisme, objek formal filsafat pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan bidang filsafat terapan, bermula dari bidang pendekatan lainnya (Filsafat spekulatif, persepektif, dan analitis) untuk menjawab pertanyaan mengenai kebijakan pendidikan, perkembangan manusia, dan teori kurikulum. Dengna kata lain filsafat pendidikan adalah studi tentang tujuan, proses, alam, dan cita-cita pendidikan.
Filsafat pendidikan bisa dikatakan sebagai cabang filsafat dan pendidikan. Yang mempunyai ruang lingkup makro yang bersekala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang tersetruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi, pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter antarpribadi yang menjadi syarat mutlak bagi terlaksanakannya pendidikan dan pengajaran, yaitu kegiatan pendidikan yang bersekala mikro. Memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi, terlepas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaannya. Apabila pendidik tidak bersikap efektif secara utuh, akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan antara pendidik dan terdidik, atau antara siwa dan guru.
Filsafat pendidikan dijabarkan dari filsafat, artinya filsafat pendidikan tidak boleh bertentangan dengan filsafat. Secara ontologis, filsafat pendidikan mengkaji secara mendalam hakikat pendidikan dan semua unsure yang terhubung dengan pendidikan.
Pendekatan ontology atau metafisik menekankan pada hakikat keberadaan, dalam hal ini keberadaan pendidikan itu sendiri. Berawal dari teori ontology menurut plato, ontologi dibagi menjadi 2 dunia yaitu : dunia indrawi yang bersifat material dan berubah, dan dunia ide yang bersifat sepiritual dan abadi. Dalam pendekatan ini, keberadaan peserta didik dan pendidik tidak terlepas dari keberadaan manusia itu sendiri. Apakah manusia itu? peryanyaan – pertanyaan metafisik tersebut juga merupakan pertanyaan – pertanyaan esensial dalam proses pendidikan.
Pendekatan – pendekatan mengenai hakikat pendidikan telah melahirkan berbagai jenis teori mengenai apakah sebenarnya pendidikan itu. pendidikan bukan hanya suatu kata benda (noun), tetapi merupakan suatu proses atau kata kerja (verb), pengertian pendidikan merupakan suatu hasil (noun) dan suatu proses (verb) adalah sangat penting untuk mengerti sebuah hakikat pendidikan tersebut.

b.      Epistemologi pendidikan
Epistemologi berasal dari bahasa latin episteme berarti knowledge, yaitu pengetahuan dan logos berarti theory. Jadi epistemology, berarti “teory pengetahuan”. istilah epistemology pertama kali di pakai oleh J.F Ferrier, Institut of Metaphysic (1854M) yang membedakan 2 cabang filsafat, yaitu epistemology dan ontology. Puncak pengkajian epistemology adalah masalah kebenaran yang membawa ke ambang metafisika.
Epistemology adalah analaisis filosofi terhadap sumber-sumber pengetahuan. dari mana dan bagaiman apengetahuan itu diperoleh, menjadi kajian epistemology, sebagai contoh bahwa semua pengetahuan berasal dari tuhan (Innama al’ilmi ‘indilah, la’ilmalana illa ma’alamatana), artinya tuhan sebagai sumbar ilmu pengetahuan. Epistemology membicarakan sumber pengethuan dan sistematiknya. Selain itu dibicarakan pula tentang hakikat ketepatan susunan berpikir yang secara akurat pula digunakan untuk masalah – masalah yang bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi sebuah pertanyaan. Menurut Sutarjo A. Wiramihardja, epistemology dengan filsafat imu itu berbeda. Epistemology mempersoalkan kebenarna pengetahuan sedangkan filsafat ilmu itu secara khusus memperbincangkan ilmu atau keilmu pengetahuan.
Kebenarna ilmu pengetahuan dibagi menjadi 2 yaitu kebenaran mutlak atau  kebenaran absolute dan kebenaran relative atau kebenaran nisbi. Kajian filsafat mengarah pada dasar – dasar pengetahuan dalam bentuk penalaran, logika, sumber pengethuan, dan kriteria kebenaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa epistemology adalah filsafat yang mengkaji seluk – beluk dan tata cara memperoleh sesuatu pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, metode, dan pendekatan yang logis dan rasional. Hal ini menunjukan bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang aktif, dan enggan melakuakn sesuatu aktifitas yang sia-sia dan tanpa tujuan yang jelas. Secara epistemology landasan pendidikan mengacu pada fitrah manusia sebagai dasar pengembangan dan inovasi pendidikan yang lebih berkarakter. Dan salah satu fitrah manusia adalah menginginkan agar hidupnya bermakna baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya. Keterlibatan manusia dalam aktivitas bersama, tidak terlepas dari perwujudan dorongan untuk mencari dan menemukan kehidupan yang bermakna. Sebab, makna hidup hanya akan mungkin dirasakan dalam kebersamaan.

c.       Aksiologi Pendidikan
Aksiologi berasal dari bahasa yunani dengan asal kata axio yang berarti value (nilai), serta logos yang berarti ilmu. Jadi aksiologi sedikitnya merupakan postulat yang membahas kegunaan atau nilai guna dari suatu disiplin ilmu. Dalam hal ini aksiologi pendidikan yang berkaitan dengan masalah ilmu dan pengetahuan (kognitio), maksudnya adalah memikirkan segala hakikat pengetahuan atau hakikat keberadaan guna dari suatu pendidikan itu sendiri, baik secara umum maupun secara khusus. Dapat diambil dari pemahaman tersebut bahwa filsafat pendidikan mengajak pembaca untuk meninjau aspek kegunaan suatu proses pendidikan.
Secara esensial aksiologi pendidikan adalah terwujudnya anak didik yang memahami ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terwujudnya insane kamil yaitu manusia yang kembali pada fitrahnya dan pada tujuan kehidupannya yang sejati. Jelaslah bahwa trilogy ilmu pengetahuan mengajak pembaca melakuakan revitalisasi hakikat sesuatu yang dalam hal ini disiplin ilmu pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA


Sutisno . A. N. Dkk. Telaah Filsafat Pendidikan. Deepublish
Salahudin. A. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung. CV Sustaka Setia
Abdullah. A. R. H. 2005. Wacana falsafah ilmu: analisis konsep-konsep asas dan Falsafah Pendidikan Negara. Utusan Publications




BAB III
Philosophy  Pendidikan

1.      Pendekatan – Pendekatan teori Pendidikan.
Pendekatan sains, pendekatan filosofi, pendekatan religi, dan pendekatan multi disiplin. Pendektan tersebut merupakan pendekatan yang menyusun teori pendidikan.
a.       Pendekatan sains
Suatu pengkajian dengan menggunakan sains untuk mempelajari, menelaah, dan memecahkan masalah – masalah pendidikan. Dalam metode sains mempunyai cara kerja seperti sebagaimana prinsip – prinsip dan metode kerja sains. Dalam pendekatan ini memiliki suatu karakteristik yang dapat di lihat dari segi objek pengkajian, tujua pengkajian, dan metode kerja pengkajian.
Dalam hal ini obejeknya terbatas karena objeknya merupakan salah satu aspek dari pendidikan. Dan tujuan pengkajian sains pendidikan sendiri adalah menggambarkan peristiwa yang terjadi dalam pendidikan. Selain itu dalam pendekatan ini metode pengkajian sains dalam pendidikan adalah dengan cara induktif.
Melalui pendekatan sains ini kemudian dihasilkan sains pendidikan atau ilmu, dengan berbagai cabangnya, seperti: (1) sosiologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sosiologi dalam pendidikan untuk mengkaji faktor-faktor sosial dalam pendidikan; (2) psikologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi untuk mengkaji perilaku dan perkembangan individu dalam belajar; (3) administrasi atau manajemen pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari ilmu manajemen untuk mengkaji tentang upaya memanfaatkan berbagai sumber daya agar tujuan-tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien; (4) teknologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sains dan teknologi untuk mengkaji aspek metodologi dan teknik belajar yang efektif dan efisien; (5) evaluasi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi pendidikan dan statistika untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa; (6) bimbingan dan konseling, suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari beberapa disiplin ilmu, seperti: sosiologi, teknologi dan terutama psikologi.
b.      Pendekatan Filosofis
Pendekatan untuk menelaah dan memecahkan masalah – masalah pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Dalam hal pendidikan membutuhkan filsafat. Karena untuk menangani masalah – masalah yang diantaranya adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan manusia. Masalah seperti ini membutuhkan perenungan yang lebih mendalam.
Pendekatan memiliki objek pengkajian yang tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Dan tujuan akhir dari pengkajian filosofi sendiri adalah merumuskan apa dan bagaimana seharusnya tentang pendidikan. Sedangkan metode pengkajiannya adalah melalui kajian rasional yang mendalam tentang pendidikan dengan menggunakan semua pengalaman manusia dan kemanusiaannya.
Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan dilakukan melalui metode berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga model:
1. Filsafat spekulatif adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman.
2.  Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya, atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat.
3. Filsafat analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk menjernihkan dan menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan secara hati dan cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir (disarikan dari Uyoh Sadulloh, 1994)



c.       Pendekatan religi
Dalam hal ini ajaran religi dijadikan sumber inspirasi untuk menyusun teori atau konsep – konsep pendidikan yang dapat di jadikan landasan untuk dilaksanankan pendidikan. Metode yang dipergunakan dalam menyusun teori/konsep pendidikan adalah tesis deduktif. Dikatakan tesis karena bertolak dari dalil – dalil atau aksioma – aksioma agama yang tidak dapat kita tolak kebenarannya.
Cara kerja pendekatan religi berbeda dengan pendekatan sains maupun filsafat dimana cara kerjanya bertumpukan sepenuhnya kepada akal atau ratio, dalam pendekatan religi, titik tolaknya adalah keyakinan (keimanan). Pendekatan religi menuntut orang meyakini dulu terhadap segala sesuatu yang diajarkan dalam agama, baru kemudian mengerti, bukan sebaliknya.
Terkait dengan teori pendidikan Islam, Ahmad Tafsir (1992) dalam bukunya “ Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam” mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal. Al-Quran diletakkan sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis), yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk pada aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat kebenarannya.
Ahmad Tafsir (1992) merumuskan tentang tujuan umum pendidikan Islam yaitu muslim yang sempurna dengan ciri-ciri : (1) memiliki jasmani yang sehat, kuat dan berketerampilan; (2) memiliki kecerdasan dan kepandaian dalam arti mampu menyelesaikan secara cepat dan tepat; mampu menyelesaikan secara ilmiah dan filosofis; memiliki dan mengembangkan sains; memiliki dan mengembangkan filsafat dan (3) memiliki hati yang takwa kepada Allah SWT, dengan sukarela melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya dan hati memiliki hati yang berkemampuan dengan alam gaib.

d.      Pendekatan Multidisiplin
Untuk dapat menghasilkan suatu konsep yang komperehensif dan dapat memadukan semua pendekatan maka diperlukan suatu pendekatan holistic dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan memliki hubungan komplementer, saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA
Sutisno . A. N. Dkk. Telaah Filsafat Pendidikan. Deepublish
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam. Bandung. Rosda Karya
Ali Saifullah.HA. 1983. Antara Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya.Usaha Nasional
Ismaun.2001.Filsafat Ilmu I.(Diktat Kuliah).Bandung.UPI Bandung.
Uyoh Sadulloh.1994.Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek

Minggu, 20 Mei 2012

BAB II : latar Belakang Pendidikan



2.1 Manusia
Manusia adalah makhluk yang mempunyai akal pikiran yang selalu meragukan terhadap segala hal yang dilihatnya.Dalam menghadapi seluruh kenyataan hidupnya, manusia kagum terhadap pancaindranya karena kemampuan pancaindra merekam realitas dunia yang materil. Akan tetapi, dibalik semua itu, manusia ragu-ragu terhadap cara kerja pancaindranya karena ia sering tertipu oleh cara pandangnya sendiri. Dalam keadaan demikian, manusia mulai menyingsingkan kesempurnaannya dan mulai menyadari keterbatasannya .
Kesadaran terhadap alat pikir dan pancaindra membawa manusia pada upaya dan usaha yang bertujuan agar hasil pemikirannya dapat diakui oleh orang lain dan memberikan manfaat untuk kehidupan masyarakat. Manusia adalah makhluk yang selalu serba ingin tahu terhadap sesuatu. Manusia adalah makhluk yang mengejar kesempurnaan. Manusia adalah makhluk yang mengejar kebahagiaan. Manusia adalah makhluk penggali pengetahuan. manusia adalah makhluk yang multirasional. Dan ide-ide pengetahuan berkembang disebabkan oleh pola pikir manusia yang tidak pernah merasakan kepuasan dalam meraih pengetahuan.
2.2 Pemikiran filsafat pendidikan menurut Sokrates
Sokrates (470 - 399 SM). Adalah seoarang filsuf yunani yang lahir sebagau warga atena pada era keemasan kota itu ia lahir dari seorang ibu yang berprofesi sebagai bidan dan ayahnya berprofesi sebagai pemahat patung. semasa muda ia mempelajari pelbagai filsafat yang yang sedang menjadi mode pada waktu itu, yakni para filsuf pra-sokrate. Dan sokrates juga orang yang pertama kali menggunakan kata Philosop. Alasannya adalah pertama karena kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai. Tapi ia lebih memilih untuk disebut pecinta pengetahuan. Kedua, pada waktu itu, di yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka aggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang rill tidak ada. Akhirnya pada diri manusia waktu itu terjangkit sikap sekeptis, artinya mereka ragu- ragu terhadap suatu, karena mereka menganggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam hal seperti ini, sokrates merasa  perlu membangun kepercayaan kepada diri manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dan socrat juga merupakan seorang filsuf yang aktif bertannya.
Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir.
Oleh karena Socrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali mengetahui dengan kesahihan ajarannya. Ajarannya itu hanya dikenal dari catatan-catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Catatan Xenephon kurang kebenarannya, karena ia sendiri bukan seorang filosof. Untuk mengetahui ajaran Socrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Dalam uraian-uraian Plato, yang kebanyakan berbentuk dialog, hampir selalu Socrates yang dikemukakannya. Ia memikir, tetapi keluar seolah-olah Socrates yang berkata.
Tujuan filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Socrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap dan harus dicari.
Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.
Oleh karena Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi. Kedua-duanya itu bersangkut-paut. Induksi menjadi dasar definisi.
2.3 Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Plato
Plato (427 – 347 SM) adalah seorang filsuf yunani yang sangat berpengaruh dan merupakan murid dari sokretes dan guru dari Aristoteles. Plato membahas filsafat dengan dialektik, yaitu metode dialogis. Tukoh utama yang diperankan plato dalam dialog tersebut adalah Socrates, sebagai orang yang mengajukan pertanyaan – pertanyaannya di sudut kota Athena. Plato hidup hingga separo abad setelah kematian sokrates, dan meninggal pada usia 81. Selama masa hidupnya ia telah menerbitkan sekitar 2 lusin dialog. Mulai dari 20 halaman sampai 300 halaman menurut ukuran cetakan yang lazim sekarang. Dialog yang paling terkenal adalah Republik, yaitu tentang hakikat keadilan dan cetak biru Negara ideal, dan symposium telaah tentang hakekat cinta.
Semua karya yang di tulis plato adalah dialog. Kecuali surat-surat dan apologia. Tetapi tentang karangan terakhir ini tidak jauh beda dengan dialog. Dalam karya ini plato menuliskan tentang pembelaan sokrates membela diri di hadapan hakim- hakimnya dan semua warga Negara Athena dan plato adalah filsuf pertama dalam sejarah filsafat yang memilh dialog sebagai satra untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya. Sesudahnya bentuk ini sering kali akan di tiru lagi, biak masa kuno maupun masa modern. Plato termasyhur terutama karena teorinya tentang bentuk – bentuk atau ide-ide. (di sini, kata bentuk dan ide ditulis dengan huruf besar membuat jelas bahwa kdua kata itu sedang di gunakan dalam pengertian plato).
Ketika sokrates bertanya “Apa itu keindahan” atau “Apa itu keberanian?”, ia tidak menginginkan penjelasan tentang definisi kata, melainkan ia hendak menemukan hakikat dari suatu entitas abstrak yang ada. Ia memandang entitas-entitas itu bukan sebagai sesuatu yang berada di suatu tempat atau pada waktu tertentu. Melainkan sebagai suatu yang memiliki eksistensi universal yang tidak bergantung pada ruang dan waktu. Suatu benda yang indah yang kita jumpai di sekitar kita dan tindakan berani yang di lakukan seseorang selalu berlangsung singkat, namun mereka mengambil bagian hakikat keindahahan sejati atau keberanian sejati. Inilah ideal-ideal yang tak dapat punah, yang memiliki eksistensinya sendiri.
Teori yang tersirat tentang sifat moral dan nilai – nilai itu lalu digeneralisasi oleh plato terhadap seluruh realitas. Segalanya di dunia, tanpa kecuali, hannya bersifat sementara saja, sekedar salinan yang fana dari suatu yang bentuk idealnya (dari sini lah asal usul istilah ideal dan bentuk) memiliki eksistensi yang permanen  dan tak dapat ruasak di luar ruang dan watu.
2.3 Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) menjadi terkenal karena metode silogisnya atau logikanya. Menurut aristoteles mengemukakan bahwa pendidikan yang baik adlah pendidikan yang mempunyai tujuan untuk kebahagiaan. Dan dengan menggabungkan pembenaran dan penyangkalan di antara tiga terma, sebuah kesimpulan yang meyakinkan dapat diperoleh dengan metode ini. Jika dua terma secara terpisah membenarkan terma ke 3, dapat disimpulkan bahwa kedua kedua terma tersebut saling membenarkan satu sama lainnya. Akan tetapi bilamana hannya satu terma yang membenarkan terma ketiga, terma pertama dan kedua saling menyangkal satu sama lain.
Aristoteles merangkai semua kombinasi yang mungkin terjadi dan merumuskan hukum – hukum untuk mengatur kombinasi – kombinasi tersebut. Metode ini menjernihkan dan membuang keraguan jalan pikiran atas dasar hubungan antara tiga terma. Metode ini yang diciptakannya ini pada akhirnya membuat aristoteles mendapat julukan bapak logika.
Metode yang dikembangkan aristoteles dipandang tidak ilmia, terutama setelah munculnya Francis bacon, yang menulis buku novum organum (organon Baru) dengan maksud untuk mengkritik logika ariestoteles yang dianggapnya kekurangan aturan dan prinsip yang berguna untuk menetapkan hukum penalaran ilmiah.   
                                                                            


Daftar Pustaka
Salahudin. A. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung. CV Sustaka Setia
Magee. B. The Story Of Philosophy. Kanisius. (online)
Tersedia :
http://books.google.co.id/books?id
Ilmu & Aplikasi Pendidikan. Grasindo. (Online)
Tersedia :
http://books.google.co.id/books?id
Bertens. K. 1993. Sejarah filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles. Kanisius. (Online)
Tersedia :
http://books.google.co.id/books?id
Hadiwijono. H. 1998. Sari Sejarah Filsafat Barat 1, cet. 15. Kanisius. Yogyakarta.