2.1 Manusia
Manusia adalah
makhluk yang mempunyai akal pikiran yang selalu meragukan terhadap segala hal
yang dilihatnya.Dalam menghadapi seluruh kenyataan hidupnya, manusia kagum
terhadap pancaindranya karena kemampuan pancaindra merekam realitas dunia yang
materil. Akan tetapi, dibalik semua itu, manusia ragu-ragu terhadap cara kerja
pancaindranya karena ia sering tertipu oleh cara pandangnya sendiri. Dalam
keadaan demikian, manusia mulai menyingsingkan kesempurnaannya dan mulai
menyadari keterbatasannya .
Kesadaran terhadap
alat pikir dan pancaindra membawa manusia pada upaya dan usaha yang bertujuan
agar hasil pemikirannya dapat diakui oleh orang lain dan memberikan manfaat
untuk kehidupan masyarakat. Manusia adalah makhluk yang selalu serba ingin tahu
terhadap sesuatu. Manusia adalah makhluk yang mengejar kesempurnaan. Manusia
adalah makhluk yang mengejar kebahagiaan. Manusia adalah makhluk penggali
pengetahuan. manusia adalah makhluk yang multirasional. Dan ide-ide pengetahuan
berkembang disebabkan oleh pola pikir manusia yang tidak pernah merasakan
kepuasan dalam meraih pengetahuan.
2.2 Pemikiran filsafat pendidikan menurut Sokrates
Sokrates (470 - 399
SM). Adalah seoarang filsuf yunani yang lahir sebagau warga atena pada era
keemasan kota itu ia lahir dari seorang ibu yang berprofesi sebagai bidan dan
ayahnya berprofesi sebagai pemahat patung. semasa muda ia mempelajari pelbagai
filsafat yang yang sedang menjadi mode pada waktu itu, yakni para filsuf
pra-sokrate. Dan sokrates juga orang yang pertama kali menggunakan kata
Philosop. Alasannya adalah pertama karena kerendah-hatian dia. Meskipun ia
seorang yang pandai. Tapi ia lebih memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri
mereka orang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang
mereka aggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka
katakan. Kebenaran yang rill tidak ada. Akhirnya pada diri manusia waktu itu
terjangkit sikap sekeptis, artinya mereka ragu- ragu terhadap suatu, karena
mereka menganggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang
shopis. Dalam hal seperti ini, sokrates merasa
perlu membangun kepercayaan kepada diri manusia bahwa kebenaran itu ada
dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dan socrat juga merupakan seorang
filsuf yang aktif bertannya.
Socrates tidak pernah
menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan
filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan
hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup.
Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak
mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir.
Oleh karena Socrates
tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali mengetahui dengan kesahihan
ajarannya. Ajarannya itu hanya dikenal dari catatan-catatan murid-muridnya,
terutama Xenephon dan Plato. Catatan Xenephon kurang kebenarannya, karena ia
sendiri bukan seorang filosof. Untuk mengetahui ajaran Socrates, orang banyak
bersandar kepada Plato. Dalam uraian-uraian Plato, yang kebanyakan berbentuk
dialog, hampir selalu Socrates yang dikemukakannya. Ia memikir, tetapi keluar
seolah-olah Socrates yang berkata.
Tujuan filosofi
Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sini
berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya
relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis.
Socrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap dan harus dicari.
Dalam mencari
kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan
orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya
sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari
kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak
mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa
orang.
Oleh karena Socrates
mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian
dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi
dan definisi. Kedua-duanya itu bersangkut-paut. Induksi menjadi dasar definisi.
2.3
Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Plato
Plato
(427 – 347 SM) adalah seorang filsuf yunani yang sangat berpengaruh dan
merupakan murid dari sokretes dan guru dari Aristoteles. Plato membahas
filsafat dengan dialektik, yaitu metode dialogis. Tukoh utama yang diperankan
plato dalam dialog tersebut adalah Socrates, sebagai orang yang mengajukan
pertanyaan – pertanyaannya di sudut kota Athena. Plato hidup hingga separo abad
setelah kematian sokrates, dan meninggal pada usia 81. Selama masa hidupnya ia
telah menerbitkan sekitar 2 lusin dialog. Mulai dari 20 halaman sampai 300
halaman menurut ukuran cetakan yang lazim sekarang. Dialog yang paling terkenal
adalah Republik, yaitu tentang hakikat keadilan dan cetak biru Negara ideal,
dan symposium telaah tentang hakekat cinta.
Semua
karya yang di tulis plato adalah dialog. Kecuali surat-surat dan apologia.
Tetapi tentang karangan terakhir ini tidak jauh beda dengan dialog. Dalam karya
ini plato menuliskan tentang pembelaan sokrates membela diri di hadapan hakim-
hakimnya dan semua warga Negara Athena dan plato adalah filsuf pertama dalam
sejarah filsafat yang memilh dialog sebagai satra untuk mengekspresikan
pikiran-pikirannya. Sesudahnya bentuk ini sering kali akan di tiru lagi, biak
masa kuno maupun masa modern. Plato termasyhur terutama karena teorinya tentang
bentuk – bentuk atau ide-ide. (di sini, kata bentuk dan ide ditulis dengan
huruf besar membuat jelas bahwa kdua kata itu sedang di gunakan dalam
pengertian plato).
Ketika
sokrates bertanya “Apa itu keindahan” atau “Apa itu keberanian?”, ia tidak
menginginkan penjelasan tentang definisi kata, melainkan ia hendak menemukan
hakikat dari suatu entitas abstrak yang ada. Ia memandang entitas-entitas itu
bukan sebagai sesuatu yang berada di suatu tempat atau pada waktu tertentu.
Melainkan sebagai suatu yang memiliki eksistensi universal yang tidak
bergantung pada ruang dan waktu. Suatu benda yang indah yang kita jumpai di
sekitar kita dan tindakan berani yang di lakukan seseorang selalu berlangsung
singkat, namun mereka mengambil bagian hakikat keindahahan sejati atau
keberanian sejati. Inilah ideal-ideal yang tak dapat punah, yang memiliki
eksistensinya sendiri.
Teori
yang tersirat tentang sifat moral dan nilai – nilai itu lalu digeneralisasi
oleh plato terhadap seluruh realitas. Segalanya di dunia, tanpa kecuali, hannya
bersifat sementara saja, sekedar salinan yang fana dari suatu yang bentuk
idealnya (dari sini lah asal usul istilah ideal dan bentuk) memiliki eksistensi
yang permanen dan tak dapat ruasak di
luar ruang dan watu.
2.3
Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Aristoteles
Aristoteles
(384-322 SM) menjadi terkenal karena metode silogisnya atau logikanya. Menurut
aristoteles mengemukakan bahwa pendidikan yang baik adlah pendidikan yang
mempunyai tujuan untuk kebahagiaan. Dan dengan menggabungkan pembenaran dan
penyangkalan di antara tiga terma, sebuah kesimpulan yang meyakinkan dapat
diperoleh dengan metode ini. Jika dua terma secara terpisah membenarkan terma
ke 3, dapat disimpulkan bahwa kedua kedua terma tersebut saling membenarkan
satu sama lainnya. Akan tetapi bilamana hannya satu terma yang membenarkan
terma ketiga, terma pertama dan kedua saling menyangkal satu sama lain.
Aristoteles
merangkai semua kombinasi yang mungkin terjadi dan merumuskan hukum – hukum
untuk mengatur kombinasi – kombinasi tersebut. Metode ini menjernihkan dan
membuang keraguan jalan pikiran atas dasar hubungan antara tiga terma. Metode
ini yang diciptakannya ini pada akhirnya membuat aristoteles mendapat julukan
bapak logika.
Metode
yang dikembangkan aristoteles dipandang tidak ilmia, terutama setelah munculnya
Francis bacon, yang menulis buku novum organum (organon Baru) dengan maksud
untuk mengkritik logika ariestoteles yang dianggapnya kekurangan aturan dan
prinsip yang berguna untuk menetapkan hukum penalaran ilmiah.
Daftar Pustaka
Salahudin. A.
2011. Filsafat Pendidikan. Bandung.
CV Sustaka Setia
Bertens. K.
1993. Sejarah filsafat Yunani: dari
Thales ke Aristoteles. Kanisius. (Online)
Tersedia : http://books.google.co.id/books?id
Tersedia : http://books.google.co.id/books?id
Hadiwijono. H. 1998. Sari Sejarah Filsafat Barat 1, cet. 15.
Kanisius. Yogyakarta.